dari httw.kompas

DI Sumbar, pembikinan film ini merebak sampai mana-mana, menusuk sampai ke daerah yang permai, Payakumbuh. Di daerah yang antusiasmenya terhadap sastra sangat tinggi ini, puisi kini diangkat ke film, seperti film Musim Kematian Bunga produksi Komunitas Seni Intro Payakumbuh. Film ini didukung para seniman/ penyair seperti Iyut Fitra, Dian Prima Warta, Adek Roro Wulan Rastika, Topan Dewi Gugat, Fira Susanti, dan lain-lain. Musim Kematian Bunga yang disutradarai Yusril SS hanya salah satu, dari karya-karya lain seperti Malin Kundang Milenium (Alwi Karmena), Mendayung Biduk Tiris (Drs M Yusuf H Mum), Surau (Syahindra Buana), Teror (Yanuar GN), dan masih banyak lagi.
Mereka terhitung serius. Berbagai diskusi atas karya-karya tersebut digelar, antara lain di Taman Budaya Provinsi Sumbar, di kampus Universitas Bung Hatta, dan di Universitas Andalas. Aktivitas ikutannya, berupa dibentuknya Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi) bulan Juni lalu. Kepengurusan itu dilantik oleh artis Anwar Fuady yang setia memakai baju merk Versace.
Atau di Batam, ketika dua anak muda yang juga dikenal sebagai wartawan harian Lantang, Moch Ryan Djatnika dan Tarmizi hendak membikin film yang berkisah tentang tenggelamnya nasib nelayan dalam judul Tenggelam, ternyata dukungan masyarakat setempat begitu besar. Katanya, dari sumbangan masyarakat terkumpul Rp 25 juta untuk membikin film ini.
“Kami tak mengira, respons dari pemerintah maupun masyarakat begitu kuat mendorong kami untuk berkarya. Bagi kami, dukungan dari masyarakat jauh lebih penting ketimbang film yang kami buat. Uang itu kami gunakan untuk membiayai film termasuk honor dan uang transportasi para pemain,” ungkap Tarmizi.
Segala keterbatasan prasarana agaknya diharapkan melahirkan “keajaiban”. Tiga mahasiswa Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara, Aap, Cici, Ida, ingin mengkonkretkan cita-cita mereka membuat film. Maka, mereka pun membuat film bertema psikologis, Jiwa Terpasung.
“Waktu ngambil adegan berangkat ke luar negeri, diam-diam kita masuk ke Bandara Polonia di terminal keberangkatan luar negeri. Untuk mengambil suara pesawatnya dan merekam gambar pesawat saat take off, terpaksa aku harus berdiri di atas kap mobil Cici yang panasnya minta ampun. Hasilnya lumayan. Selain kaki terbakar, suaranya juga bisa terekam…” kata Firman, yang bertugas sebagai juru kamera.
Di Bandung, sekelompok anak muda yang menyebut diri mereka Safers (singkatan Sarekat Felem Mekers) berencana membuat film berjudul Episode IV yang akan mereka produksi tahun depan. “Kalian tahu enggak apa yang kudu kita cari? Orang paling gendut se-Bandung,” kata Ervin, salah satu dari kelompok itu. Mereka membikin film, tambahnya, “Sebelum kami mencapai hidup yang mapan, menjadi pegawai negeri yang tiap
hari naik vespa ke kantor dan punya keluarga yang menunggu di rumah mungil dengan kebun bunga.”

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar